Aseon7

Selamat datang di blog sederhana ku...


A. Pengertian al-Qur’an dan Ulumul Qur’an

1. Pengertian al-Qur’an

a. Secara etimologi

Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata kerja qara’a (قرء) yang berarti bacaan. kata ini selanjutnya berarti kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW.

kata qur’an adalah kata sifat dari al-qar’u yang bermakna al-jam’u (kumpulan). Selanjutnya kata ini digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, karena al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan mengumpulkan inti dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.[1]

Para ulama tafsir al-Qur'an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa (lughowi atau etimologis) bahwa kata al-Qur'an merupakan bentuk mashdar dari kata qoro’a yaqro’uu – qiroo’atan – wa qor’an – wa qur’aanan. Kata qoro’a berarti menghimpun dan menyatukan; al-Qur'an pada hakikatnya merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang menjadi satu ayat, himpunan ayat-ayat menjadi surat, himpunan surat menjadi mushaf al-Qur'an. Di samping itu, mayoritas ulama mengatakan bahwa al-Qur'an dengan akar kata qoro’a, bermakna tilawah: membaca. Kedua makna ini bisa dipadukan menjadi satu, menjadi “al-Qur'an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”[2].

b. Secara terminologi

Al-Qur’an menurut istilah adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, yang memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.[3]

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلا

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)

Dan firman-Nya,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)

2. Pengertian Ulumul Qur’an

a. Secara etimologi

Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilmu yang merupakan bentuk mashdar dari kata ‘alima, ya’lamu yang berarti mengetahui.[4] Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya.[5]

b. Secara terminologi

Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :

علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من جهة نزوله وسنده وادابهوالفاظه ومعانيه المتعلقة بالاحكام وغير ذالكّ.

“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.

Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:

مباحث تتعلّق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكابته وقراءته وتفسيره واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشّبه عنه ونحو ذالك

“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.[6]

Menurut Manna al-Qattan, ulumul qur’an adalah:

“Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an dari segi sebab turunnya, pengumpulan dan urutan-urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah, nasikh dan mansukh, muhkam, dan mutasyabih, dan hal-hal lain yang terkait dengan al-Qur’an”.[7]

B. Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Qur’an

Pokok-pokok persoalan ulumul qur’an :

1. Nuzul, meliputi hal menyangkut dengan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah yang disebut Makkiah,ayat-ayat yang diturunkan di Madinah disebut Madaniah, ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi berada di kampung disebut Hadhariah, ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi dalam perjalanan disebut Safariah, ayat-ayat yang diturunkan di waktu siang hari disebut Nahariah, yang diturunkan pada malam hari disebut Lailaiah, yang diturunkan di musim dingin disebut Syitaiah, yang diturunkan di musim panas disebut Shaifiah, dan yang diturunkan ketika Nabi di tempat tidur disebut Firasyiah. Juga meliputi hal yang menyangkut sebab-sebab turun ayat, yang mula-mula turun, yang terakhir turun, yang berulang-ulang turun, yang turun terpisah-pisah, yang turun sekaligus, yanng pernah diturunkan kepada seorang nabi, dan yang belum pernah turun sama sekali.

2. Sanad, meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawatir, yang ahad, yang syaz, bentuk-bentuk qira’at Nabi, para periwayat dan para penghafal Al-Qur’an, dan cara tahammul(penerimaan riwayat).

3. Ada’al –qiraah(cara membaca Al-Qur’an). Hal ini menyangkut waqf (cara berhenti), ibtida’ (cara memulai), imalah, madd (bacaan yang dipanjangkan), takhfif hamzah(meringankan bacaan hamzah), idgham(memasukkan bunyi huruf yang sakin kepada bunyi sesudahnya).

4. Pembahasan yang menyangkut lafal Al-Qur’an, yaitu tentang gharib(pelik),mu’rab(menerimaperubahan akhir kata),majaz(metafora), musytarak(lafal yang mengandung lebih dari satu makna), muradif(sinonim), isti’arah(metafor), dan tasybih(penyerupaan).

5. Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna umum dan tetap dalam keumumannya, umum yang dimaksudkan khusus, umum yang dikhususkan oleh sunnah, yang nash, zahir, mujmal(bersifat global), mufashshal(dirinci), manthuq(makna yang berdasarkan pengutaraan), mafhum(makna yang berdasarkan pemahaman), muthlaq(tidak terbatas), muqayyad(terbatas), muhkam(kukuh,jelas), mutasyabih(samar), musykil(maknanya pelik), nasikh(menghapus), mansukh(dihapus), muqaddam(didahulukan), muakhkhar(dikemudiankan), ma’mul(diamalkan) pada waktu tertentu, dan yang hanya ma’mul(diamalkan) oleh seorang saja.

6. Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafal, yaitu fashl (pisah), washl (berhubung), ijaz (singkat), thnab (panjang), musawah (sama), dan qashr (pendek).[8]

Para ulama mufasir dari semua kalangan dan generasi-generasi yang tercakup dalam lingkup Uluumul Qur’an menafsirkan Qur’an selalu berpegang pada :

1) Al-Qur’anul Karim

Sebab apa yang yang dikemukakan secara global di satu tempat/ayat dijelaskan secara terperinci ditempat/ayat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “Tafsir Qur’an dengan Qur’an”.

2) Nabi S.A.W

Mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepada beliau ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Diantara kandungan Qur’an terdapat ayat ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali melalui penjelasan Rasulullah . misalnya rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang difardhukan-Nya.

3) Para Sahabat.

Mengingat para sahabatlah yang paling dekat dan tahu dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Riwayat dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah SAW cukup menjadi acuan dalam mengembangkan ilmu-ilmu Qur’an. Dan yang cukup banyak menafsirkan Qur’an seperti empat orang khalifah dan para sahabat lainnya.

4) Pemahaman dan ijtihad

Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, dan banyak perbedaan-perbedaan dari kalangan sahabat, maka mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek yang ada didalamnya.[9]

C. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an

Sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ulum al-Qur’an tidak lahir sekaligus, melainkan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Istilah ulumul Qur’an belum dikenal pada masa awal pertumbuhan Islam. Istilah ini baru muncul pada abad ke-3 H. Karena Ulumul Qur’an dalam arti sejumlah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an baru muncul dalam karya Ali bin Ibrahim al-Hufi.

Pada masa Rasulullah SAW sampai masa kekhalifahan Abu Bakar (12 H – 13 H) dan Umar (13 H – 23 H), ilmu al-Qur’an masih diriwayatkan secara lisan. Pada masa khalifah Utsman, beliau menyuruh semua umat muslim berpegang pada mushaf induk dan membakar mushaf lainnya. Utsman juga mengirimkan beberapa mushaf kepada beberapa daerah sebagai pegangan. Masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib telah diperintahkan Abu al-Aswad al-Duali untuk meletakkan kaedah-kaedah bahasa Arab.

Pada abad ke-2 H, upaya pembukuan ulumul qur’an mulai dilakukan, namun pada masa ini perhatian ulama lebih banyak terfokus pada tafsir. Tafsir-tafsir tersebut pada umumnya memuat pendapat-pendapat shahabat dan tabi’in.

Pada abad ke-3 H, muncul Muhammad bin Jarir al-Tabari yang menyusun kitab tafsir yang bermutu karena banyak memuat hadits-hadits shahih, ditulis dengan rumusan yang baik.

Pada abad ke-4 H, lahir beberapa kitab ulumul qur’an, seperti Aja’ib Ulum al-Qur’an karya Abu Bakar Muhammad bin al-Qasyim al-Anbari. Dalam kitab ini dibahas tentang kelebihan dan kemuliaan al-Qur’an turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf, penulisan mushaf, jumlah surah, ayat dan kata dalam al-Qur’an.

Penghujung abad ke-13 H hingga saat ini, perhatian ulama terhadap ulumul qur’an bangkit kembali. Pada masa ini, pembahasan dan pengkajian ulumul qur’an tidak hanya terbatas pada cabang-cabang ulumul Qur’an yang ada sebelumnya, melainkan telah berkembang, misalnya penterjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa asing.

D. Urgensi Mempelajari Ulumul Qur’an

Tanpa mempelajari Uluumul Qur-an sebenarnya seseorang akan kesulitan memahami makna yang terkandung dalam Al Qur-an, bahkan bisa jadi malah tersesatkan. Apalagi ada 2 jenis ayat yaitu ayat-ayat muhkamaat dan mutsayabihaat. Sejak masa nabi Muhammad pun, terkadang sahabat memerlukan penjelasan nabi apa yang dimaksud dalam ayat-ayat tertentu. Sehingga muslimin yang hidup jauh sepeninggal Nabi S.a.w, terutama bagi yang ingin memahami kandungan Al Qur-an dituntut untuk mempelajari ilmu tersebut.[10]

Adapun manfaat mempelajari Ulumul Qur’an antara lain adalah:

- Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam al-Qur`an.

- Membekali diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap, dalam rangka membela al-Qur`an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain.

- Seorang penafsir (mufassir) akan lebih mudah dalam mengartikan al-Qur`an dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.[11]



[1] Prof.Dr. H. Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:Ciputat Press, 2002) Cet ke 2, hal. 5

[2] http://ansharjalante.multiply.com/journal/item/76

[3] Op. Cit. Hal. 5

[4] Ibid. Hal. 4

[5] http://dakir.wordpress.com/2009/03/13/pengertian-ulumul-quran/

[6] http://dakir.wordpress.com/2009/03/13/pengertian-ulumul-quran/

[7] Ibid. Hal. 5

[8] http://dinulislami.blogspot.com/2009/10/ruang-lingkup-ulumul-quran.html

[9] http://ulumulstai.blogspot.com/2009/03/ulumul-quran-dan-perkembangannya.html

[10] http://islamwiki.blogspot.com/2009/02/urgensi-ulumul-quran.html

[11] http://sabdapena.blogspot.com/2009/04/kajian-ilmu-al-quran-1.html

KEPUTUSAN YANG TEPAT

Nabi Muhammad SAW bercerita, ada dua orang wanita keluar membawa bayi mereka. Tiba-tiba seekor serigala menyerang dan memangsa salah satu dari kedua bayi itu. Kedua wanita itu memperebutkan si bayi yang masih hidup. Masing-masing mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Lalu mereka memperkarakan anak itu kepada nabi Daud AS.


Beliau berkata, “Apa yang menjadi perselisihan di antara kalian?”. Kedua wanita tersebut menceritakan kisah yang mereka alami. Lalu Daun memutuskan bahwa si anak milik wanita yang lebih tua.


Merasa tidak puas, mereka membawa perkara itu kepada nabi Sulaiman AS. Beliau berkata, “Berikanlah kepadaku sebuah pisau, aku akan membelah anak ini menjadi dua dan masing-masing dari kedua wanita ini mendapat separuh bagian”.


Wanita yang lebih muda terkejut dan berkata, “Apakah paduka hendak membelahnya menjadi dua, wahai nabi Allah?. Sulaiman menjawab, “Ya”. Wanita itupun memohon, “Jangan kau lakukan hal itu wahai paduka. Biarkanlah bagianku kurelakan untuk saudara tuaku ini”.


Maka sulaiman memutuskan bahwa anak itu adalah hak si wanita yang lebih muda. Beliau berkata “Ambillah anak ini karena dia adalah anakmu”.


Cinta adalah bukti dan tali batin ibu atas anaknya.

Sumber: Kisah-kisah Teladan Untuk Keluarga.

Dahulu, seorang raja yang sedang duduk santai di pelataran istana. Saat dia sedang melihat-lihat pemandangan, matanya tertuju pada seorang wanita cantik jelita di atas balkon di sebuah rumah. Raja bertanya kepada dayang-dayang tentang wanita itu. Dayang-dayang mengatakan bahwa wanita itu adalah istri pembantunya, Fairuz.

Kemudian raja turun. Dalam hatinya telah tumbuh cinta yang menggelora. Lalu ia memanggil pembantunya dan berkata, “Wahai Fairuz”. “Hamba paduka”, jawab Fairuz. “Ambillah surat ini dan bawalah ke negeri antah berantah, kemudian bawalah jawabannya padaku”, titah sang raja.

Si pembantu mengambil surat itu lalu pulang ke rumahnya dan meletakkan surat itu di bawah bantal. Kemudian ia menyiapkan segala keperluan untuk perjalanannya, ia pamit kepada keluarganya dan memulai perjalanannya untuk menunaikan tugas. Dia sama sekali tidak mengetahui rencana busuk sang raja di balik kepergiannya.

Sementara itu, raja pergi ke rumah pembantunya. Dan mengetuk pintu pelan-pelan. Istri pembantu raja bertanya “siapa yang mengetuk pintu?”. Sang raja menjawab, “Aku raja dan tuan suamimu”. Si istri membuka pintu dan masuklah raja. Wanita itu bertanya, “Ada apakah gerangan paduka mengunjungi rumah kami? Hamba berlindung kepada Allah dari kunjungan ini dan hamba tidak mengira ini kunjungan yang baik”.

Raja berkata, “Celakalah kamu, aku adalah raja dan tuanmu. Apakah kamu tidak mengetahui hal ini?”. Si wanita menjawab, “Bahkan hamba sangat mengenal paduka. Tetapi paduka telah didahului oleh leluhur dalam pepatah mereka:

Akan ku tinggalkan air milikku tanpa bunga,
Karena banyak orang yang mendambakannya.
Bila seekor lalat di atas hidangan,
Kuurungkan tanganku,
Sekalipun seleraku menginginkannya.
Singa-singa pun tak mau mendekat ke telaga,
Bila anjing-anjing telah menjilat telaga itu”.

Kemudian wanita itu berkata, “Wahai raja, paduka telah datang ke tempat minum anjing dan paduka ingin minum air berkasnya?”. Raja sangat malu mendengar ucapan itu, lalu keluar meninggalkan wanita tersebut. Namun, ia lupa membawa sepatunya dan malah meninggalkannya di rumah itu.

Sementara itu, Fairuz di tengah jalan ia memeriksa surat sang raja, tetapi tidak mendapatkannya. Ia teringat bahwa surat itu ditaruhnya di bawah bantal. Kemudian diputuskannya untuk kembali ke rumah. Saat sampai di rumah, raja baru keluar dari rumahnya dan ia melihat sepatu sang raja yang tertinggal. Dalam hati, ia sangat marah. Ia menyadari bahwa sang raja tidak mengutusnya pergi kecuali karena ada maksud tertentu di balik perintahnya. Ia terdiam dan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada istrinya. Lalu, ia mengambil surat dan pergi menunaikan tugas dari raja.

Setelah selesai menunaikan tugas, ia kembali dan menghadap raja. Raja memberinya uang seratus dinar. Setelah itu, ia pergi ke pasar membeli keperluan wanita dan mempersiapkan hadiah mahal untuk istrinya. Ia pulang ke rumah memberi salam kepada istrinya dan berkata, “bangkitlah dan pulanglah ke rumah ayahmu!” Istrinya bertanya heran, “mengapa?”. Si suami menjawab, “Raja memberiku hadiah dan aku ingin memperlihatkannya kepada keluargam”.

Si istripun bangkit dan pergi ke rumah ayahnya. Keluarganya gembira karena kedatangan dan hadiah yang dibawanya. Ia tinggal di rumah ayahnya selama sebulan penuh. Selama itu suaminya tidak pernah menanyakan dan menjemputnya.

Melihat hal itu, saudara lelaki istrinya datang menemuinya dan bertanya, “Katakanlah kepada kami penyebab kemarahanmu atau kalau tidak kita akan ajukan perkara ini kepada raja”. Fairuz menjawab, “Jika kalian ingin mengajukannya kepada raja, maka lakukanlah, aku tidak mempunyai hak apa-apa lagi terhadap istriku”. Maka mereka pun mengajukan permasalahan ini kepada raja. Sang raja menyerahkan perkara ini kepada hakim kerajaan yang saat itu duduk di sebelahnya.

Saudara laki-laki si istri berkata, “Tuan hakim ketua, aku telah memperkerjakan orang ini di kebun milikku yang berpagar kuat, mempunyai mata air sumur yang jernih dan ditumbuhi pepohonan yang berbuah lebat. Namun kemudian, ia memakan buah-buahnya dan merusak tembok pagarnya dan merusak sumber airnya”.

Sang hakim menoleh kepada pembantu raja, “Apa yang ingin kau katakan wahai Fairuz?”. Fairuz menjawab, “Wahai tuan hakim, sungguh aku telah menerima kebun itu dan telah kau serahkan kembali dengan kondisi yang lebih baik daripada sebelumnya”.

Sang hakim bertanya, “Apakah ia menyerahkan kebun itu seperti semula?”. Saudara laki-laki itu menjawab, “Benar, aku ingin mengetahui penyebab mengapa ia mengembalikannya”?. Sang hakim bertanya, “Apa yang ingin kau katakan, wahai Fairuz?”. Ia menjawab, “Demi Allah wahai tuanku, aku tidak mengembalikannya lantaran benci kepadanya. Suatu hari, aku datang ke kebun dan melihat bekas jejak harimau (sepatu sang raja). Aku takut kalau harimau itu membunuhku. Aku menahan diriku untuk masuk ke kebun itu sebagai penghormatanku kepada harimau itu”.

Sang raja yang sebelumnya duduk bersandar, mendadak duduk tegang dan berkata, “Wahai Fairuz, kembalilah ke kebunmu dengan aman dan tenang. Demi Allah, harimau itu memang telah masuk ke kebun itu dan telah meninggalkan jejak. Namun ia tidak menyentuh sehelai daun atau mengambil satu butir buah pun darinya. Harimau itu hanya masuk sebentar dan keluar tanpa merusak apapun yang ada di dalamnya. Demi Allah, harimau itu belum pernah melihat kebun yang sangat menjaga pagar dan pepohonannya”. Maka, pembantu raja itupun pulang dan membawa istrinya kembali ke rumah. Sang hakim maupun hadirin yang mengikuti sidang itu, tidak satupun yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Bila lalat ada di atas hidangan, urung tangan menjamahnya. Singa pun tak mau mendekat ke telaga bila anjing telah menjilatnya terlebih dahulu.

SI BUTA HURUF YANG CERDAS

Seorang pastur paroki (daerah) bersikeras dengan kebiasaannya membuat nota untuk menyampaikan pesan kepada para stafnya. Seorang tukang sapu tidak tahu isi pesan tertulis itu. Karenanya, ia kehilangan pekerjaannya.

Walaupun tidak dapat membaca dan menulis, tukang sapu itu sangat cerdas. Ia memulai usaha dan berhasil menjadi sangat kaya. Suatu hari, seorang direktur bank yang telah menjadi mitra usahanya heran ketika mengetahui ia buta huruf. Bankir itu bertanya, “Ya ampun, bayangkan dimana engkau berada sekarang ini, jika engkau dapat membaca dan menulis”.

Orang yang berhasil itu tersenyum lebar dan berkata, “Ya, saya menjadi orang tukang sapu di paroki itu”.

Kegagalan di suatu tempat adalah pintu keberhasilan di tempat lain.

Sumber: buku Kisah-kisah Teladan untuk Keluarga.

Suatu hari yang panas, seekor serigala merasa sangat haus. Dilihatnya pohon anggur dengan buah yang sangat lebat dan berwarna hijau kecoklat-coklatan, menandakan anggur yang matang dan manis untuk dimakan. Air liurnya menetes. Segera dia meloncat memetik buah anggur dengan kedua “tangannya”, namun ia gagal. Dicobanya lagi, tetap tak berhasil. Berkali-kali dilakukannya dengan sekuat tenaga. Dicoba lagi dengan cara yang lain. Tetap saja, tak satu pun buah anggur tercapai “tangannya”. Sang serigala menyerah.

Serigala menatap ke atas, tepat ke arah buah anggur yang masak dan lebat. Kembali air liurnya menetes. Segera air liur itu disekanya. Ia pandangi lagi buah anggur itu. Kali ini dia membatin, “Ah, anggur itu asam dan tidak baik untukku”, katanya dan sang serigala segera pergi.

Kalau satu tali putus, maka yakinlah ada satu tali lainnya. Yang kita inginkan belum tentu baik, apalagi kalau kita tidak dapat mencapainya.

Langganan: Postingan (Atom)