Aseon7

Selamat datang di blog sederhana ku...


KODE PPC ANDA

A.Pendahuluan
Istilah “berkarier” dan “bekerja” adalah dua kata yang adakalanya diartikan sama dan adakalanya berbeda. Dalam pengertian yang berbeda bahwa bekerja lebih umum daripada berkarier, karena berkarier dituntut agar profesional sementara tuntutan ini tidak ada pada istilah berkerja. Al-Quran yang menjadi sumber ajaran Islam menginformasikan bahwa perintah untuk bekerja bagi laki-laki dan perempuan sama, tidak berbeda sama sekali. Perintah ini misalnya, terdapat dalam surat Hud, 11: 93 dan Zumar, 39: 39 yang intinya menyatakan “bekerjalah kamu menurut kemampuanmu, sesungguhnya Aku (Allah) bekerja”. Perintah bekerja menurut kemampuan pada hakikatnya dimaksudkan bekerja secara profesional. Dikaitkan dengan kajian gender yang menjadi tema kita pada seminar ini, perintah tersebut sangat memihak kesetaraan gender, karena perintah ini menggunakan ungkapan yang dipakai secara umum yaitu “i’malu” (bekerjalah kamu). Ungkapan perintah demikian juga berlaku untuk ibadah misalnya, mendirikan salat dan membayarkan zakat yang wajib dilaksanakan oleh semua orang Islam baik laki-laki maupun perempuan.

Dewasa ini, dengan terbukanya kesempatan memperoleh pendidikan bagi perempuan, termasuk para muslimah, mereka mulai masuk ke dunia karier. Banyak sekali jenis karier yang dilakoni oleh para muslimah misalnya, menjadi dokter, perawat, dosen, guru, pengacara, notaris, pegawai bank, pegawai administrasi, pengusaha, peragawati, dan lain-lain. Dalam berhadapan dengan profesionalitas sebagai muslimah berkarier disadari atau tidak, muncul problematika pada dirinya.

Berdasarkan kasus pribadi dan orang lain yang diketahui lewat pengamatan terhadap pengalaman hidup masyarakat sekitar dan sebagainya, saya berupaya mengelompokkan problematika tersebut kepada tiga kelompok: 1) problematika sebelum menikah; 2) problematika setelah menikah; dan 3) problematika setelah memiliki anak. Pada tiap kelompok problema, saya berupaya mengemukakan pikiran untuk penyelesaiannya, karena saya pikir tanpa sumbangan dan pemikiran untuk keluar dari problema, hal itu akan tetap menjadi problema. Kita akan seperti orang yang menghasta kain sarung, tidak pernah berakhir. Saya berharap, peserta seminar hari ini bersedia mengajak diri sendiri dan orang lain untuk memikirkan dan mempertimbangkan urun pikir yang saya kemukakan di sini. Dengan demikian kita dapat membantu mencipatakan kondisi “muslimah berkarier tanpa problema”, semoga menjadi kenyataan.

B. Problematika sebelum Menikah
Pada umumnya kaum perempuan, termasuk para muslimah memasuki dunia karier sebelum menikah. Pada awal menginjak dunia karier tentu saja terjadi penyesuaian diri dengan lingkungan sosial karier dan biasanya penyesuaian diri ini tidak memakan waktu yang lama. Bagi muslimah yang berkepribadian utuh, hasil bentukan dari latar belakang keluarga yang utuh pula, penyesuaian dirinya berlangsung lebih cepat. Cepat atau lambatnya penyesuaian diri berkaitan secara signifikan dengan kepribadian masing-masing individu.

Memasuki dunia karier sebelum menikah bagi seorang muslimah adalah wajar, namun problema muncul ketika muslimah karier tersebut belum menikah juga pada usia di mana biasanya orang mulai memasuki dunia rumahtangga. Dewasa ini kita mengamati di lingkungan sosial kita banyak perempuan, termasuk muslimah karier yang statusnya demikian. Apabila hal ini ditanyakan kepada mereka, jawaban mereka bermacam-macam misalnya, belum ada yang cocok dan sebagainya.

Menurut pendapat saya ada beberapa faktor yang menyebabkan muslimah berkarier belum atau tidak menikah. Pertama, tuntutan karier membuat perhatian mereka terfokus kepada pelaksanaan karier secara profesional. Mereka berupaya mengembangkan diri sesuai tuntutan karier dan setiap pencapaian pengembangan diri terdapat rasa kepuasan yang selanjutnya terbentuk jiwa kemandirian dan kepercayaan diri yang tinggi. Konsekuensinya, dia merasa tidak membutuhkan laki-laki yang (biasanya) sebagai pencari rezki dan nafkah keluarga, karena dia merasa bahwa kebutuhan hidupnya secara material sudah terpenuhi. Kehidupannya sehari-hari dipenuhi oleh berbagai kegiatan untuk meningkatkan profesionalitas dan muslimah berkarier jenis ini juga mengalami peningkatan yang cepat di dalam kariernya. Dengan kemandirian dan percaya diri yang tinggi itu, biasanya dia sulit menerima masukan dari orang lain, terutama dalam masalah yang berkaitan dengan pendamping hidup baik hal itu datang dari orangtua dan keluarganya sendiri maupun datang dari koleganya.

Muslimah berkarier jenis ini seringkali lupa dengan usianya yang mulai beranjak tua dan ketika dia menyadari dan menginginkan adanya laki-laki yang mendampinginya, ternyata para laki-laki di sekitarnya yang dia kenal sudah berkeluarga. Akhirnya, muslimah karier demikian memutuskan untuk tidak menikah.

Kedua, adakalanya muslimah berkarier itu memiliki latar belakang keluarga pecah di mana ibu dan bapaknya bercerai dan sang ayah pergi tanpa memedulikan anaknya. Dalam hal ini biasanya si ibu mengalami sakit hati dan luapan emosi si ibu adakalanya menjadi doktrin yang mensugesti muslimah karier untuk menyamaratakan semua laki-laki berperilaku seperti bapaknya. Hal ini dapat berkonsekuensi terhadap hilangnya keinginan untuk menikah, karena dia khawatir trauma keluarga ibunya akan dialaminya pula nanti.

Ketiga, mengalami kekecewaan karena merasa dikhianati oleh kekasih dengan cara ditinggal kawin, pergi tanpa berita, dan lain-lain. Saya berpendapat bahwa setidaknya tiga hal di ataslah yang menyebabkan muslimah berkarier memilih untuk tidak menikah, bukan sebagaimana anggapan pada umumnya orang yang dengan mudah melontarkan kata “tidak laku” pada perempuan yang memilih untuk tidak menikah.

Pemecahan problematika ini dengan mengajak kaum muslimah secara keseluruhan untuk mengulurkan tangan. Dalam hal ini kita perlu berpedoman kepada ajaran agama misalnya, persaudaraan sebagaiamana terdapat dalam surat al-Hujurat, 49:10 “sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. Bentuk persaudaraan itu dijelaskan Rasul dalam suatu Hadis yang disampaikan dari Anas yang artinya: “Tidak beriman seseorang kamu sehingga dia menyayangi saudaranya sebagaimana dia menyayangi dirinya sendiri” (H.R. Bukhari).

Ekspresi persaudaraan terletak pada kemauan untuk mengulurkan tangan kepada muslimah berkarier yang belum menikah. Diperlukan penyadaran dengan pemberian nasehat dan masukan kepadanya bahwa menikah itu wajib hukumnya berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nur, 24:32

Yang artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Muslimah berkarier yang tidak menikah lantaran ingin lebih profesional perlu berdamai dengan dirinya untuk mengurangi ambisi dan menerima masukan dari orang lain dari siapapun datangnya. Bukalah diri dan berikan kesempatan kepada laki-laki yang bermaksud baik untuk menjadi pendamping hidup. Jangan menjadikan faktor dunia (jabatan, kekayaan, penampilan) sebagai ukuran, tetapi jadikanlah faktor agama sebagai bahan pertimbangan. Dalam hal ini perlu dipedomani Hadis Rasul yang artinya sebagai berikut “dikawini perempuan karena empat hal yakni hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya, pilihlah faktor agama, maka anda akan selamat”.

Terhadap muslimah berkarier yang tidak menikah karena mengkhawatir-kan akan mengulangi pengalaman ibunya, perlu penyadaran bahwa tidak semua laki-laki seperti itu. Banyak sekali kasus di tengah masyarakat yang berbeda dari bayangan menakutkan itu. Mengenai muslimah berkarier yang tidak menikah lantaran kecewa, perlu pula penyadaran bahwa manusia tidak boleh berputus asa sebagaimana diinformasikan Allah dalam surat Yusuf, 12: 87 agar manusia tidak berputua asa dari rahmat Allah, putus asa itu hanyalah sikap orang kafir.

Muslimah berkarier yang belum menikah dianjurkan berdo’a pada Allah agar dipertemukan dengan laki-laki yang saleh dan baik menurut Allah, karena Allah sudah menjamin bahwa Dia mengabulkan do’a orang yang berdo’a sebagaimana diinformasikan-Nya dalam surat Ghafir, 40:60. Di dalam berdo’a kepada Allah perlu diperhatikan hal-hal berikut:
  • Meyakini dalam hati bahwa do’a itu pasti dikabulkan Allah;
  • Tidak memakan/meminum/memakai barang (sesuatu) yang haram;
  • Tidak meminta secara segera atau memberikan kebebasan kepada Allah dalam mengijabah do’a.
Muslimah berkarier yang sudah menikah perlu pula memberikan uluran tangan untuk membuka diri sebagai teman “curhat” dan memberikan nasehat, penyadaran, serta membantu menghubungkan silaturrahmi dengan laki-laki yang dipandang pantas untuknya. Tanamkan niat ikhlas dalam hati untuk membantu, kaena niat ikhlas akan diterima dengan hati yang bening tanpa prasangka dan curiga.

C.Problematika setelah Menikah
Memasuki dunia pernikahan dengan niat untuk beribadah karena Allah adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak semua yang demikian keadaannya. Di dalam memilih pasangan sebagaimana telah dikemukakan di atas diharuskan memilih dengan melihat kriteria agama. Kriteria agama yang dimaksudkan di sini mengandung dua pengertian yaitu pertama, sama agamanya dengan agama laki-laki yang menjadi calon pasangannya; kedua, mengamalkan ajaran agama.

Dalam pergaulan suami-isteri di rumah tangga ada kewajiban yang utama dari masing-masing kepada pasangannya yaitu memperlakukan masing-masingnya dengan baik. Kewajiban suami kepada isteri dapat dikelompokkan pada dua yaitu yang bersifat materi dan non-materi. Yang bersifat materi yaitu mahar dan belanja, yang bersifat non-materi adalah memperlakukan dengan baik dan adil seandainya suami memiliki isteri lebih dari satu.

Apabila kewajiban yang bersifat materi pada suami dihubungkan dengan muslimah berkarier, adakalanya timbul problema. Problemanya antara lain ketika penghasilan suami lebih kecil dari perempuan, maka perempuan (yang kurang mempertimbangkan keutuhan keluarga dan mudah-mudahan tidak ada di sini) itu kurang menghargai laki-laki dan lebih jauh melecehkan. Dia membandingkan penghasilannya dengan penghasilan suami dan konsekuensi-nya lebih jauh terjadi keretakan rumahtangga. Bahkan tidak jarang muncul rasa cemburu yang tidak beralasan dari suami dan lebih jauh terjadi KDRT. Betapa banyak kita menyaksikan para selebritis (termasuk muslimah) yang mengalami keretakan rumahtangga tidak berapa lama setelah melaksanakan pesta pernikahan secara besar-besaran.

Dalam rangka mengantisipasi dan membantu penyelesaian problematika ini semoga pemikiran berikut dapat bermanfaat:
1. Sebaiknya diadakan pertemuan antara muslimah berkarier dengan calon suaminya sebelum memutuskan untuk menikah buat mengadakan pembicaraan secara terbuka tentang penghasilan dan apabila penghasilan isteri lebih besar, maka suami dapat menerima degan lapang dada dan tidak memandang isteri sebagai saingan dalam berpenghasilan;

2. Tempatkan suami dalam posisi mitrasejajar dalam merancang kehidupan rumahtangga;

3.Meluruskan dan memperbaiki niat kembali seandainya niat menikah dulu bukan karena beribadah kepada Allah dan mengikuti sunnah Rasul. Di dalam suatu Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Rasul bersabda yang artinya ’Barangsiapa mengawini perempuan karena hartanya tidak akan ditambahi oleh Allah kecuali kefakiran; barangsiapa mengawini perempuan karena posisi/martabatnya tidak akan ditambahi oleh Allah kecuali kehinaan; barangsiapa mengawini perempuan dengan niat untuk menutup pandangannya (kepada orang lain) dan menjaga kehormatannya atau menghubungkan tali kasih sayang, akan diberkati oleh Allah baik perempuan maupun laki-laki” (HR Ibnu Hibban).

4.Menciptakan pengertian yang sungguh-sungguh antara suami dan isteri. Suami dan isteri memiliki latar belakang yang berbeda: cara dibesarkan dan dididik oleh orang tua, lingkungan bermain sejak kecil, tingkat ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, keberagamaan keluarga, posisi dalam bersaudara, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan tersebut memicu emosi masing-masing dan berpotensi terjadinya konflik dalam keluarga. Bagi mereka yang memasuki rumah tangga dengan didahului oleh proses berpacaran, biasanya masing-masing pasangan (calon suami dan calon isteri) memperlihatkan hal-hal ideal sesuai dengan harapan pasangannya, tetapi ketika telah masuk ke rumah tangga dan menjadi suami isteri mulai terlihat perilaku yang sebenarnya. Untuk menjaga ketenteraman rumah tangga, masing-masing perlu mengerti sungguh-sungguh terhadap pasangannya. Sebaiknya dipelajari biografi singkat dari masing-masing agar dapat dipahami keadaannya hari ini, karena kepribadian seseorang terbentuk dengan pengaruh lingkungan baik lingkungan sosial maupun non sosial.

5.Saling menerima. Suami dan isteri sebagai manusia memiliki kelebihan dan kekurangan dan tidak ada manusia yang sempurna. Ketika suami dan isteri telah diikat oleh sebuah perkawinan, maka masing perlu menerima pasangannya dengan berbagai kekuatan dan kelemahan itu secara menyeluruh. Penerimaan terhadap kelemahan maksudnya memaklumi bahwa pasangannya mempunyai kelemahan dan berupaya memperbaiki-nya. Misalnya, suami yang mudah emosi tidak ditentang oleh isteri dengan emosi yang sama, tetapi dipahami dan pada waktu yang baik disampaikan pula secara baik dengan komunikasi yang lembut sehingga lama kelamaan suami memahami bahwa mudah emosi itu merupakan sifat yang merugikan.

6.Saling menghargai antara suami dan isteri. Sikap saling menghargai dapat diwujudkan dengan berbagai cara antara lain mendengarkan pasangan berbicara atau bercerita, memberikan tanggapan terhadap pembicaraannya dengan hati terbuka dan penuh perhatian, mengingatkan hari-hari bersejarah bagi pasangan, menyambut pasangan dengan wajah gembira ketika dia pulang, memperhatikan kondisi kesehatannya, menanyakan keadaan anak-anak, dan lain-lain.

7.Memelihara sikap saling mempercayai. Suami dan isteri perlu menanamkan sikap tersebut sejak awal perkawinannya dengan cara memupuk rasa baik sangka (husnu al-zhan) terhadap pasangan. Terimalah issu-issu negatif yang diinformasikan seseorang dengan lapang dada dan berbaik sangka. Untuk itu masing-masing pasangan harus menjaga hati yang bening dan pikiran jernih agar tidak mudah diperdayakan oleh syetan.

8.Saling menyayangi antara suami dan isteri. Rasa sayang adalah kurnia Allah yang perlu dipelihara dan kasih sayang tersebut dapat berubah menjadi benci disebabkan sesuatu dan lain hal. Berdasarkan hal tersebut, penyair Arab memberikan panduan dalam berkasih sayang yang artinya: “sayangilah kekasihmu sekedarnya, barangkali suatu ketika dia akan menjadi orang yang kamu benci; bencilah orang yang kamu benci sekedarnya, barangkali suatu ketika dia akan menjadi kekasihmu”.

9.Suami-isteri perlu menjaga rasa sayang dengan objektif dan berkesinam-bungan, bukan secara subjektif dan kebutuhan sesaat. Suami menyayangi isteri karena dia menjadi pendampingnya dan ibu bagi anak-anaknya, bukan lantaran dia muda, cantik, dan populer, karena sayang yang subjektif biasanya bersifat sementara. Apabila hal-hal yang dikemukakan di atas dapat diamalkan oleh suami-isteri (muslimah karier dan suaminya) insya Allah tercipta keluarga yang tenteram dan damai, sebaliknya tidak diperlukan Undang-undang no. 23/2003 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

D.Problematika setelah Memiliki Anak
Setiap perkawinan mendambakan hadirnya anak sebagai buah kasih sayang dan penyemarak rumahtangga. Kehadiran anak bagi muslimah berkarier yang tinggal bersama keluarga besar atau memiliki pembantu yang dapat menjaga anaknya, barangkali tidak terlalu menjadi masalah, namun tidak demikian dengan muslimah berkarier dari keluarga nuclear (keluarga inti).

Ketika anak masih kecil dan menyusu, muslimah berkarier mengalami problema karena hatinya terbelah antara menjaga anak dan memenuhi tuntutan karier. Kesulitan dialami ketika tidak ada orang yang akan menjaga anak, sehingga anak terpaksa dibawa ke tempat penitipan anak (TPA) yang adakalanya jauh dari tempat berkarier. Bagi muslimah yang berkarier sebagai guru/dosen masih dapat diatasi, karena jadwal mengajar dapat diatur dan bernegosiasi dengan pimpinan sekolah dan guru lain. Bagi muslimah yang berkarier sebagai pegawai bank, pegawai administrasi, perawat adakalanya terpaksa memilih salah satu.

Negara kita berbeda dengan negara maju misalnya, Jepang yang memberikan hak cuti satu tahun penuh kepada karyawati yang melahirkan. Mereka berpendapat bahwa bayi sampai usia satu tahun perlu mendapat pelayanan penuh dari ibu, karena pada usia awal itu sangat menentukan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pisik dan psikologis anak selanjutnya.
Urun pikir yang dapat saya sumbangkan untuk ini adalah agar para muslimah berkarier mengusulkan kepada pimpinan instansi/kantor untuk dapat menyediakan ruangan buat TPA. Secara teknis beberapa kantor/instansi yang berdekatan bersepakat untuk menyediakan ruangan buat TPA, memungut dana dari muslimah berkarier yang menitipkan anak. Mengenai personil yang akan menjaga anak dapat memberdayakan anggota Dharmawanita yang menjadi ibu rumahtangga atau mahasiswa yang telah berakhir masa kuliahnya (di Perguruan Tinggi). Dengan cara ini, pelayanan terhadap dapat dilakukan secara maksimal, pemeriksaan terhadap anak dapat dilakukan secara rutin, kebutuhan pisik dan psikologis anak terpenuhi, serta muslimah berkarier dapat mengembangkan karier secara aman.

Dewasa ini, masyarakat mulai merasakan pentingnya TPA dan mungkin sudah ada yang membuat baik secara berorganisasi misalnya Dharmawanita maupun perorangan dan keberadaannya perlu ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

KODE PPC ANDA

Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

0 komentar

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)